Skip to main content
30 Oktober 2025
# Topik
Ayo Terhubung

6 Jurus Jitu Marketer Atasi Kelelahan Media Sosial & Engagement Turun

30 Oktober 2025

Ternyata, kelelahan media sosial (social media fatigue) itu beneran ada, guys. Kebiasaan berselancar di media sosial (medsos) bener-bener bergeser secara global. Orang-orang mulai menghabiskan waktu lebih sedikit di platform tersebut, menghindari scrolling tanpa tujuan, dan memandang konten—terutama iklan—dengan penuh keraguan (skeptisisme).

Ironisnya? Tuntutan pada manajer media sosial justru makin tinggi!

Menurut The 2025 Sprout Social Index™, konsumen mengharapkan interaksi yang bermakna dari brand, dan 93% percaya bahwa penting bagi brand untuk tampil relevan secara budaya di media sosial.

Ini menciptakan dilema yang sangat menekan bagi kita, para marketer:

  • Bagaimana caranya kamu bisa mempertahankan perhatian audiens saat mereka mulai tuning out, tapi di saat yang sama harus memenuhi permintaan untuk storytelling yang on-brand dan tailored?

  • Dan kalau kamu berhasil menyeimbangkan itu, bagaimana kamu bisa mempertahankan relevansi budaya tanpa mengencerkan (diluting) identitas brand autentik kamu?

Tenang, kamu nggak sendirian! Di artikel ini, kita akan bedah tuntas wilayah yang belum terpetakan ini. Kita akan selami mengapa audiens mulai capek dengan medsos, dan bagaimana cara mengatasi kelelahan ini agar kamu bisa memenangkan hati mereka kembali.

DAFTAR ISI

🤯 Apa Sih yang Memicu Kelelahan Media Sosial (Social Media Fatigue)?

01 digital overload density analog

Ada beberapa faktor utama yang konvergen (bertemu) dan menciptakan badai kelelahan media sosial. Ini dia yang paling menonjol:

❌ Informasi Sampah (Misinformation) dan Toksisitas Online

Ada kekhawatiran yang makin besar tentang kualitas konten di online. Bayangkan saja, setiap hari orang dibanjiri:

  • Debat panas yang nggak ada habisnya.

  • Iklan repetitif yang muncul terus.

  • Informasi yang diragukan kebenarannya (atau bahkan hoax).

Sebuah survei dari Gartner (2023) bahkan memprediksi, 50% konsumen akan secara signifikan membatasi interaksi medsos mereka pada tahun 2025. Kenapa? Karena toksisitas jaringan, misinformation, dan ad overload (kebanyakan iklan).

Nggak heran kan kalau netizen kita bilang, "Duh, isi medsosku isinya gitu-gitu aja atau malah bikin emosi."

♻️ Taktik Brand yang Terlalu Gitu-Gitu Aja (Repetitif)

Audiens dibombardir dengan informasi digital yang jauh melampaui batas kemampuan otak untuk menyerapnya.

Ini terlihat jelas dari kebiasaan scrolling audiens yang melewati postingan yang sering kali:

  • Terlihat dan terdengar sama satu sama lain.

  • Menggunakan taktik overly promotional (terlalu jualan).

  • Kampanye generik dan format copycat (meniru brand lain).

Semua ini menyatu dan menjadi bising (noise). Dampaknya? Bahkan konten yang sebenarnya kreatif dan strong jadi susah banget menonjol. Ini bikin capek, bukan cuma audiens, tapi juga tim kreatif kita!

🤳 Kebiasaan Audiens yang Terus Berubah

Tren medsos nggak statis, tapi terus berevolusi secara global:

  • Anak Muda (Gen Z dan early Gen Alpha) cenderung pindah ke saluran pribadi (private channels), aplikasi messaging (misalnya, chat grup WhatsApp atau Telegram), dan komunitas niche di mana mereka merasa lebih terkontrol dan nyaman.

  • Orang Tua makin membatasi waktu layar untuk anak remaja mereka.

  • Generasi X semakin menggunakan medsos sebagai mesin pencari (bayangkan, cari resep masakan atau review produk di Instagram atau TikTok, bukan Google!). (Berdasarkan Q2 2025 Sprout Social Pulse Survey).

Penting dicatat: Pergeseran ini bukan berarti orang meninggalkan medsos, tapi mereka mendefinisikan ulang cara dan waktu mereka berinteraksi.

🌊 Banjir Konten (Content Saturation)

Dengan miliaran orang menggunakan jaringan sosial, volume konten berada di titik tertinggi sepanjang masa.

  • Facebook punya lebih dari tiga miliar pengguna aktif bulanan.

  • Instagram punya dua miliar.

Jutaan postingan live setiap menit. Feed medsos benar-benar tenggelam dalam konten, termasuk LinkedIn—yang sekarang cepat menjadi hub untuk pencitraan diri (self-performative branding) bagi para profesional dan CEO.

Arus konten yang nggak ada habisnya ini lah yang menyebabkan kelelahan dan bahkan mengubur postingan yang sebenarnya relevan. Ini semakin mempersulit brand untuk stand out.

📊 Metrik Engagement Tradisional Nggak Lagi Cerita Semuanya

Bagi manajer media sosial global, benchmark tradisional seperti jumlah Like, Share, dan Comment sudah nggak bisa menangkap dampak penuh dari kampanye masa kini.

Sebagian besar nilai kampanye sekarang terjadi dengan cara yang lebih sunyi (quieter ways), seperti:

  • Sharing secara pribadi (misalnya, direct message ke teman).

  • Penyebutan brand (brand mentions) di jaringan niche (seperti Bluesky, forum-forum spesifik, atau grup private).

  • Kesadaran brand (awareness) yang nggak selalu terikat pada klik (click).

Ini memang membuat pelaporan lebih rumit. Tapi, sisi baiknya, ini juga membuka pintu bagi cara yang lebih holistik dalam mengukur kesuksesan. Kita nggak bisa lagi terjebak pada metrik vanity yang nggak substansial!

⚙️ Algoritma Jaringan yang Terus Berubah

Semua jaringan sosial bergerak menuju algoritma berbasis minat (interest-based algorithms), di mana audiens mendapatkan konten berdasarkan preferensi mereka.

Coba pikirkan ini: Hingga 50% konten yang dilihat audiens di Facebook adalah dari akun yang tidak mereka follow.

Artinya, audiens sekarang terekspos pada brand dan kreator yang sama sekali tidak memiliki koneksi dengan mereka.

  • Di satu sisi, ini peluang emas buat brand kamu!

  • Tapi, bagi pengguna, dibanjiri konten dan iklan yang tidak diinginkan akan mengencerkan dan mengganggu pengalaman medsos mereka.

Ujung-ujungnya, ya fatigue itu tadi. 😫

🤝 Kenapa Menyeimbangkan Personalisasi dan Kohesi Brand Itu Penting Banget?

02 balance

Mencapai keseimbangan yang pas antara personalisasi (sesuai audiens) dan kohesi brand (konsistensi) adalah kunci utama. Ini memastikan brand kamu beresonansi dengan audiens, tanpa mengorbankan:

  • Kejelasan pesan.

  • Kepercayaan brand.

  • Koneksi audiens jangka panjang.

Menurut data dari Sprout:

  • 76% konsumen bilang mereka akan membeli dari brand yang mereka rasakan terhubung dengannya, daripada kompetitor.

  • 57% mengatakan mereka lebih mungkin meningkatkan jumlah uang yang mereka habiskan pada brand saat mereka merasa terhubung.

Lokal touch itu penting, tapi terlalu mengandalkan referensi hyperlocal atau tren jaringan bisa mengorbankan identitas brand kamu lho.

Berikut adalah beberapa alasan krusial mengapa kombinasi yang tepat dari personalisasi dan kohesi brand membantu brand kamu:

🎤 Suara Brand (Brand Voice) yang Konsisten

  • Referensi lokal, meme, atau slang memang bisa membuat komunitas tertentu terlibat dan meningkatkan autentisitas kamu.

  • Tapi, hati-hati! Overusing (penggunaan berlebihan) hal ini dapat mengencerkan kepribadian dan pesan utama yang mengikat semua kampanye kamu.

Jika kamu terlalu menyesuaikan konten dengan slang lokal, humor regional, atau tren spesifik di setiap platform, brand voice kamu bisa terasa terfragmentasi. Dan, jika tone kamu terus bergeser, follower akan bingung tentang siapa sebenarnya brand kamu.

Kuncinya: Keseimbangan ini memastikan setiap titik kontak konsumen (consumer touchpoint) terasa relevan namun tak salah lagi adalah brand kamu. Ini membantu audiens mengenali, percaya, dan tetap terhubung dengan brand kamu di berbagai pasar (baik lokal maupun nasional).

Engagement Jangka Panjang

Memasukkan meme media sosial ke dalam konten marketing kamu atau beradaptasi dengan viral challenges memang dapat menghasilkan engagement cepat. Tapi, kemenangan ini sering kali sebentar saja jika nggak ada strategi yang tepat.

Taktik semacam itu dapat mengalahkan storytelling brand jangka panjang, meninggalkan kesan yang terpecah-pecah pada audiens.

Lebih baik fokus pada hal ini:

  • Tetap setia pada kepribadian dan nilai brand kamu.

  • Ini akan meninggalkan kesan yang lebih tahan lama dan bertahan melampaui tren sesaat karena kamu membangun relevansi dan makna yang berkelanjutan.

Contoh kerennya? Iklan Frigidaire tahun 1950-an! Iklan jadul mereka masih nyentuh hati audiens hari ini. Pesan mereka yang straightforward dan berfokus pada produk masih menarik bagi mereka yang menghargai keaslian dan kesederhanaan. Bahkan, nostalgia adalah tren yang berkembang di medsos. Kamu bisa lihat postingan bernostalgia tentang iklan Frigidaire lama—bahkan menginspirasi beberapa konsumen untuk mencari dan membeli kulkas Frigidaire vintage!

🌍 Pesan yang Inklusif dan Terpadu

Dengan paduan personalisasi dan kohesi brand yang tepat, pesan kamu menjadi lebih inklusif dan konsisten.

Ini memungkinkan setiap segmen audiens untuk melihat diri mereka tercermin dalam brand kamu, tanpa kehilangan pandangan terhadap cerita yang terpadu.

  • Terlalu fokus pada referensi niche bisa secara tidak sengaja mengecualikan bagian lain dari audiens kamu.

  • Over-personalization mungkin sangat beresonansi dengan satu daerah atau demografi (misalnya, slang gaul Jakarta), tapi dapat membuat yang lain merasa terputus atau terabaikan (misalnya, audiens di Jawa Timur atau Sumatera), yang pada akhirnya dapat mengikis loyalitas dari waktu ke waktu.

🧭 Identitas Inti di Seluruh Jaringan

Tren berkembang cepat, dan eksperimen spesifik jaringan (network-specific) bisa mempersulit upaya mempertahankan kohesi di berbagai saluran sosial.

  • Tren TikTok mungkin cucok untuk audiens muda.

  • Tapi, itu bisa bertabrakan dengan tone yang diharapkan oleh follower LinkedIn kamu (yang lebih profesional dan serius).

Terlalu mengandalkan tren yang hanya sementara (transient trends) berisiko memecah-belah kehadiran kamu dan merusak kepercayaan dan persona brand.

Kuncinya: Menggabungkan personalisasi dengan strategi brand yang kohesif memungkinkan kamu beradaptasi dengan jaringan sosial yang berbeda sambil mempertahankan identitas inti, kredibilitas, dan familiaritas kamu.

Burberry adalah contoh yang patut ditiru. Dalam kampanye terbaru mereka, “It’s always Burberry weather: Postcards from London,” mereka memadukan storytelling kreatif di Instagram dan TikTok melalui konten episodik dan selebriti A-list yang ditujukan untuk audiens muda. Hasilnya? Brand mereka langsung dikenali di seluruh jaringan. Itu baru killer!

🎯 6 Jurus Jitu Brand Atasi Kelelahan Media Sosial dan Raih Engagement Kembali

Dengan personalisasi dan kohesi brand sebagai fondasi utama kamu, ini dia enam strategi sosial yang bakal menang dan mampu menembus kebisingan (social noise) serta merebut kembali perhatian audiens kamu:

1. 🏗️ Bangun Kerangka Brand yang Terpadu (Unified Brand Framework)

Ini adalah bintang utara (north star) bagi narasi brand kamu.

Kembangkan kerangka brand yang jelas dan terdefinisi dengan baik yang menyeimbangkan konsistensi dengan kreativitas. Kerangka ini harus mendefinisikan:

  • Tone (gaya bicara).

  • Nilai-nilai (values).

  • Identitas visual (visual identity).

Ini akan menjadi dasar untuk semua kampanye kamu di akun sosial.

Manfaatnya:

  • Menciptakan kepercayaan diri bagi tim untuk berinovasi sambil memastikan postingan sosial kamu memiliki kehadiran brand yang terpercaya dan mudah dikenali.

  • Membantu kamu mempersonalisasi konten untuk humor lokal, referensi budaya (misalnya, saat ada acara 17-an atau Lebaran di Indonesia), atau format trending tanpa merusak identitas brand utama.

2. 👂 Dengarkan Audiens dan Lakukan Lokalisasi Profil Medsos

03 voice of the customer

Untuk benar-benar menarik audiens, kamu harus mendengarkan dengan cermat apa yang paling penting bagi mereka.

Triknya: Gunakan Dengarkan Sosial (Social Listening). Ini memungkinkan kamu menangkap apa yang sedang top-of-mind bagi audiens kamu, yang pada gilirannya, sangat membantu mengatasi social media fatigue dan merebut kembali perhatian mereka.

Gunakan insight listening untuk:

  • Mengidentifikasi topik trending (misalnya, isu viral lokal yang relevan).

  • Mengetahui minat lokal dan nuansa budaya yang membentuk engagement sosial.

  • Melacak jenis konten apa yang berkinerja terbaik di setiap wilayah.

  • Memantau jaringan mana yang memberikan hasil terkuat.

Contoh Lokalisasi: Brand bisa membuat profil Instagram atau TikTok terpisah yang merefleksikan humor lokal, acara musiman, dan preferensi regional. Misalnya, Aldi melakukan ini secara efektif dengan akun Instagram terpisah untuk Inggris dan Irlandia. Mereka juga menggunakan kemitraan berbayar (paid partnerships) untuk menjangkau audiens yang berbeda.

Dengan membuat profil yang berbicara langsung kepada setiap audiens, kamu meningkatkan engagement dan loyalitas sambil menjaga narasi brand utama tetap utuh. Pendekatan ini membantu kamu tetap relevan secara budaya dan memungkinkan kamu bereksperimen dengan format spesifik jaringan tanpa mengorbankan identitas brand.

3. 🔪 Pertajam Pendekatan B2B vs. B2C

Untuk memenangkan kembali audiens yang sedang lemas karena social media fatigue, kamu harus menyesuaikan pendekatan B2B (Bisnis ke Bisnis) dan B2C (Bisnis ke Konsumen).

A. Fokus B2C (Langsung ke Konsumen):

  • Kreativitas dan tren jaringan adalah alat yang kuat untuk menarik perhatian di feed yang padat.

  • Namun, ini harus selalu didasarkan pada suara brand inti kamu.

  • Menggunakan tren medsos secara bijaksana (thoughtfully) dapat menjaga konten kamu tetap kekinian dan relevan tanpa mengorbankan konsistensi atau autentisitas.

B. Fokus B2B (Bisnis ke Bisnis):

  • Strategi B2B harus memprioritaskan keandalan, kepemimpinan pemikiran (thought leadership), dan engagement berbasis hubungan.

  • Audiens B2B menghargai konsistensi dan keahlian di atas flashiness (kemewahan atau kehebohan), TAPI bukan berarti konten kamu harus membosankan!

Amazon mencontohkan ini dengan konten mereka yang relatable. Entah itu postingan LinkedIn tentang acara Devices and Services terbaru mereka, atau CEO mereka yang berbicara tentang bagaimana dia menggunakan fitur baru Amazon—brand ini telah menyempurnakan keseimbangan konten B2B yang relatable tanpa terkesan kaku (stuffy).

4. 🔗 Integrasikan Lintas Saluran (Integrate Across Channels)

Media sosial tidak boleh beroperasi secara terisolasi—dia harus menjadi pusat intelijen kamu!

Gunakan wawasan sosial (social insights) untuk membuat pendorong yang berdampak di seluruh konten dan kampanye berbayar kamu.

Lakukan daur ulang (recycle)!

  • Ambil apa yang beresonansi di sosial (video viral, meme yang sukses) dan ubah menjadi email nurtures, landing pages, iklan berbayar, atau bahkan konten blog untuk memperkuat kohesi brand di seluruh titik kontak.

Dengan menjalin pembelajaran sosial ke dalam saluran lain, kamu memaksimalkan jangkauan, memperkuat konsistensi, dan memastikan ide-ide terbaik kamu tidak hilang dalam pusaran feed yang konstan.

Contoh Keren: Mereka menggunakan social insights dari platform Social Listening mereka untuk membuat landing pages yang membantu audiens mendapatkan konten trending terbaru. Strategi ini terbukti memberikan peningkatan 77% dalam kesadaran brand (brand awareness) dari tahun ke tahun—menunjukkan kekuatan alat intelijen sosial mereka. Mereka juga memposting di sosial yang menyoroti dampak landing page itu, sekaligus merepurposing konten untuk memperkuat kohesi brand dan pesan.

5. 🧑 Humanisasi Tanpa Kehilangan Otoritas

Audiens yang menghadapi social media fatigue cenderung tertarik pada brand yang terasa manusiawi (human), bukan korporat (corporate).

Tapi ingat: Relatability (kemampuan untuk dihubungkan) tidak boleh mengorbankan kredibilitas kamu.

  • Menampilkan humor, momen di balik layar (behind-the-scenes), atau sorotan komunitas (community spotlights) menciptakan kehangatan dan koneksi.

  • Namun, setiap konten tetap harus terikat kembali pada misi dan kepribadian brand kamu.

Contoh: Kehadiran Oxford University di TikTok. Mereka memadukan pengalaman akademis otentik dengan konten yang didorong oleh fakultas untuk mencapai keseimbangan antara formal dan informal. Kuncinya adalah mempertahankan kejelasan brand, terlepas dari format atau jaringannya. Universitas ini sangat populer di TikTok, memposting konten bervariasi mulai dari B-T-S departemen, video reaksi, student day-in-the-life, hingga Q&A.

6. 🔄 Pikirkan Ulang Metrik Keberhasilan (Rethink Success Metrics)

04 customer loyalty

Metrik vanity seperti impressions dan jumlah follower memang terasa "aman", tapi sering kali menutupi apa yang benar-benar penting, yaitu:

  • Percakapan (dialog).

  • Pengalaman pelanggan (customer experience).

  • Dampak jangka panjang dari kepercayaan dan loyalitas pelanggan.

Penting nih: Engagement yang didorong oleh dialog bermakna, konten yang membantu, dan nilai-nilai bersama jauh lebih berarti untuk retensi daripada like-rate tinggi yang hilang saat scroll berikutnya.

Dengan 83% konsumen UK mengatakan mereka merasa kurang dihargai oleh brand favorit mereka—bahkan yang mereka tetap setia—memprioritaskan layanan pelanggan sosial (social customer care) adalah cara yang sangat kuat untuk melawan social media fatigue dan menghidupkan kembali engagement yang tulus.


🏁 Balikkan Kelelahan Media Sosial dengan Strategi Brand yang Kohesif

Para brand harus terlibat dalam strategi yang autentik, relevan secara budaya, dan kohesif untuk membalikkan social media fatigue.

Ketika kamu tetap setia pada identitas kamu sambil beradaptasi secara strategis terhadap nuansa lokal, engagement akan mengalir secara alami.

Kuncinya? Memahami apa yang dihargai audiens kamu secara real time sambil tetap tertanam kuat pada identitas brand inti kamu.

Sumber: Annette Chacko (27 Oktober 2025)

Blog ini didukung oleh pembaca. Kami dapat memperoleh komisi afiliasi ketika Anda bertransaksi di tautan yang ditampilkan di situs ini. Ikuti kami juga di Google News Publisher untuk mendapatkan notifikasi artikel terbaru. Info lanjut, kolaborasi, atau kerjasama, bisa menghubungi: 0857-1587-2597 | 0813-8229-7207 | .

 

Foto Rizal Consulting
Full-time Freelancer
🗓️ Sejak 2006 💻 Sabtu - Kamis ⏰ 08-17 WIB ☎️ 0813-8229-7207 📧