Bagaimana Kita Menjadi Tawanan Media Sosial (Bagian 1 dari 3 artikel)
Media sosial hari ini telah bergeser dari sekadar platform jejaring sosial menjadi ban berjalan hiburan kosong yang dipacu oleh AI. Masih bisakah kita keluar dari jerat ini?
Dalam dialog Socratic terkenalnya, The Republic, filsuf Yunani Plato memperkenalkan apa yang kelak dikenal sebagai “allegory of the cave” atau alegori gua. Dalam skenario itu, sekelompok manusia dikurung di dalam gua. Kaki dan leher mereka dirantai, memaksa mereka hanya menatap dinding gua, di mana bayangan-bayangan dari dunia luar diproyeksikan.
Karena telah terpenjara selama yang bisa mereka ingat, para tahanan ini menganggap bayangan yang berkelebat di dinding gua sebagai realitas sejati yang tak terbantahkan. Bayangan hewan liar mereka yakini adalah hewan itu sendiri; bayangan rerumputan, awan, petir, kuil, hingga lengkungan bangunan — semua dianggap asli, bukan sekadar simbol kasar tanpa detail atau dimensi.
Tepat di belakang para tahanan, ada kelompok lain — orang-orang yang bertugas memproyeksikan bayangan itu. Mereka disebut Plato sebagai “pembawa” (bearers) dan bebas keluar masuk gua sesuka hati. Dengan koleksi benda, patung, dan ukiran kayu, mereka dengan teliti menciptakan ulang dunia luar di hadapan para tawanan.
Ketika Plato menciptakan alegori ini lebih dari dua ribu tahun lalu, tujuannya adalah menyoroti perbedaan tajam antara keterbatasan persepsi indera dan bentuk sejati dunia — ideal-ideal platonis — yang diyakini hanya bisa diakses lewat penalaran mendalam dan wawasan yang tercerahkan.
Namun, 2.500 tahun kemudian, alegori gua ini terasa makin relevan — bahkan lebih mendesak. Peradaban abad ke-21 makin terhisap oleh deretan platform media sosial dan perangkat teknologi yang menjadi wadahnya. Sebagian besar umat manusia seolah secara sukarela mundur ke versi gua Plato milik mereka sendiri. Membungkuk, diam, dan terpaku, orang-orang ini menatap layar yang menyala dengan arus tak berujung dari teks, gambar, dan video — semua hanyalah simulacra, tiruan dari realitas fisik kita.
Platform populer masa kini — Facebook, Instagram, TikTok, dan Snapchat — telah mengubah dinding gua menjadi kaleidoskop hiburan tanpa akhir, mosaik layar yang memantulkan potongan berkilauan dari pengalaman manusia. Dan, seperti para tahanan dalam gua Plato, kita juga punya “pembawa” versi modern: para pengusaha teknologi cerdas yang membangun “dinding” ini, lengkap dengan berbagai trik baru untuk memproyeksikan bayangan di atasnya. Para pengganti masa kini ini kerap bersikeras bahwa teknologi mereka membawa kebaikan sosial — mendekatkan kita satu sama lain atau setidaknya membantu mengobati kesepian — demi mengantar kita menuju masa depan yang fantastis.
Perbedaan utama dengan alegori Plato terletak pada kesadaran penggunanya. Tahanan gua percaya bayangan adalah satu-satunya realitas, sedangkan pengguna media sosial masih tahu ada dunia nyata di luar sana. Mereka tetap berinteraksi dengan dunia fisik dan bisa membedakan hidup offline dengan kehidupan di layar.
Dalam kisah Plato, cerita berakhir ketika seseorang berhasil keluar dari gua. Awalnya matanya silau saat menatap dunia luar yang penuh cahaya matahari. Namun lama-kelamaan, ia bisa menikmati keindahan “benda-benda sesungguhnya” — bintang, bulan, dan akhirnya matahari yang ia sadari adalah sumber musim, tahun, dan penguasa segala yang terlihat.
Terpesona oleh lanskap tiga dimensi yang hidup, ia merasa bersalah karena teman-temannya masih terjebak di gua, tertipu oleh bayangan. Ia pun kembali untuk membebaskan mereka. Sayangnya, para tahanan tak langsung percaya. Mereka melihat penglihatannya di dalam gua sudah buruk — ia tak lagi bisa membaca bayangan yang dulu dianggap sebagai seluruh realitas. Kelemahan ini justru membuat mereka curiga. Alih-alih ikut keluar, para tahanan malah “mengangkat tangan” melawan pembebas itu, dan membunuhnya.
“Platform populer masa kini telah mengubah dinding gua menjadi kaleidoskop hiburan tanpa akhir, mosaik layar yang memantulkan potongan berkilauan dari pengalaman manusia.”
Disonansi & Ketergantungan
Sudah banyak tulisan yang membahas hubungan kita yang makin erat dengan media sosial dalam satu dekade terakhir, tapi beberapa poin tetap layak diulang. Survei Gallup tahun 2023 menemukan bahwa remaja kini menghabiskan hampir lima jam sehari di berbagai platform media sosial. Angka ini terus meningkat, dengan riset terbaru menunjukkan waktu penggunaan media sosial di semua kelompok usia naik lebih dari 50% sejak 2013 — dari rata-rata 90 menit per hari pada 2013 menjadi sekitar 145 menit di 2024.
Perubahan drastis ini jelas berdampak pada psikologi. Penelitian mengaitkan penggunaan media sosial berlebihan dengan depresi, kecemasan, masalah citra tubuh, dan bentuk tekanan mental lainnya. Survei Harris pada Agustus 2024 mencatat hampir 60% Gen Z merasa media sosial berdampak negatif pada generasi mereka, dan sekitar setengahnya berharap TikTok, X (Twitter), dan Snapchat tidak pernah diciptakan. Studi Pew 2020 juga menemukan hampir dua pertiga orang dewasa AS merasa platform media sosial berdampak buruk pada negara.
Kontras antara perasaan terhadap media sosial dan cara memakainya menunjukkan kita memasuki era baru hubungan dengan platform ini. Meski terus berevolusi sejak Mark Zuckerberg dan teman-teman kuliahnya di Harvard meluncurkan “TheFacebook” pada Februari 2004, komposisi, konten, dan pola keterlibatan pengguna berubah drastis pasca pandemi Covid-19.
Krisis global itu mempercepat tren yang sudah ada, mendorong kehidupan sosial dan konsumsi budaya lebih dalam ke ranah online. Saat karantina massal, waktu kita di media sosial melonjak, membentuk ketergantungan diam-diam yang akhirnya diterima begitu saja. Lima tahun kemudian, Instagram dan TikTok menjadi pusat budaya, politik, dan hiburan generasi milenial serta Gen Z. Dampaknya kini menyusup ke dunia nyata, memengaruhi cara kita bersosialisasi, berkomunikasi, bahkan membentuk jati diri.
Seiring bayangan di dinding gua makin rumit dan spesifik, mereka mulai menjauh dari dunia fisik yang dulu direpresentasikan — menarik kita lebih dalam ke realitas virtual. Lama-kelamaan, keakraban kita dengan teknologi ini berpotensi menciptakan keterasingan yang lebih dalam, membawa kita jauh ke lanskap digital yang memesona, terlepas dari dunia nyata yang dulu dijanjikan akan lebih dekat.
Sumber: Mike Mariani (12 Agustus 2025)
Blog ini didukung oleh pembaca. Kami dapat memperoleh komisi afiliasi ketika Anda bertransaksi di tautan yang ditampilkan di situs ini. Ikuti kami juga di Google News Publisher untuk mendapatkan notifikasi artikel terbaru. Info lanjut, kolaborasi, atau kerjasama, bisa menghubungi: 0857-1587-2597 | 0813-8229-7207 | .
