Bagaimana Kita Menjadi Tawanan Media Sosial (Bagian 2 dari 3 artikel)
Media sosial hari ini telah bergeser dari sekadar platform jejaring sosial menjadi ban berjalan hiburan kosong yang dipacu oleh AI. Masih bisakah kita keluar dari jerat ini?
Senjakala Era Jejaring Sosial
Selama bertahun-tahun, filosofi publik Meta berpusat pada satu keyakinan utama: manusia selalu mendambakan koneksi satu sama lain. Meta percaya naluri ini pada dasarnya adalah hal yang baik; jika difasilitasi dengan benar, hubungan tersebut bisa memicu rangkaian manfaat sosial.
Beberapa bulan sebelum Facebook melantai di bursa pada Februari 2012, CEO Mark Zuckerberg menulis surat terbuka kepada calon investor. Ia menegaskan bahwa Facebook “dibangun untuk menjalankan misi sosial — membuat dunia lebih terbuka dan terhubung.” Hubungan personal, jelasnya, adalah fondasi vital bagi masyarakat, ide, dan kebahagiaan individu. Facebook, katanya, hadir untuk membantu orang terhubung dan berbagi apa pun yang mereka inginkan, sekaligus memperluas kemampuan membangun dan mempertahankan hubungan.
Lebih dari satu dekade kemudian, surat yang penuh semangat sosial ini terasa seperti peninggalan dari masa ketika idealisme seperti itu masih dipercaya. Dalam 13 tahun berikutnya, Facebook beberapa kali mengubah haluan: mengakuisisi platform lain, merangkul video pendek, dan memberi algoritma peran yang jauh lebih besar dalam menentukan apa yang tampil di feed. Hasilnya, cara orang menggunakan Facebook — dan platform lain yang berevolusi serupa — berubah drastis hanya dalam satu generasi. Meski masih sering disebut “jejaring sosial,” dimensi sosialisasinya di era 2020-an perlahan memudar.
“Perbedaan tajam antara perasaan orang terhadap media sosial dan cara mereka memakainya adalah tanda kita telah memasuki era baru dalam hubungan dengan platform ini.”
Peneliti Universitas Kansas, Jeffrey Hall, dalam makalahnya tahun 2022, menjelaskan bahwa aplikasi seperti Facebook, X, dan Instagram kini tak lagi fokus memfasilitasi hubungan personal. “Sebentar lagi, algoritma — bukan jejaring sosial pilihan pengguna — yang akan menentukan apa yang kita lihat di media sosial,” tulisnya. Saat saya mewawancarainya, Hall menegaskan, “Era jejaring sosial yang murni sudah berakhir.” Konten yang kita lihat sekarang, katanya, didominasi iklan, promosi dari Meta atau Google, dan materi dari kreator profesional atau semi-profesional. Ia menyebutnya sebagai “senjakala era jejaring sosial.”
Zuckerberg pun mengakui perubahan arah ini saat bersaksi di pengadilan federal April lalu, di awal persidangan antimonopoli FTC terhadap Meta. Ia menyebut Facebook kini condong pada “ide umum hiburan.” Tim hukumnya bahkan menunjukkan data internal yang membuktikan waktu interaksi antar-teman di Facebook makin sedikit, lengkap dengan tangkapan layar yang membuat Facebook terlihat nyaris sama dengan pesaingnya. Seorang sumber bahkan menyebut punya “lima versi TikTok” di ponselnya.
Sebagaimana yang disampaikan seorang netizen asal New York, Kyle Chayka, pembelaan tim hukum Meta menunjukkan bahwa, "betapa telah menjadi "membosankannya" keseluruhan ekosistem daring."
Bagi banyak pengamat, persidangan ini bukan kejutan, melainkan konfirmasi. Jika era 2000-an penuh optimisme akan potensi internet membentuk komunitas virtual dan demokratisasi ide, maka era 2020-an justru diwarnai kekecewaan.
Hall dan peneliti lain mencatat, pengalaman pengguna di Facebook, X, dan Instagram kini jauh kurang interaktif dibanding 10 tahun lalu. Dominasi iklan, konten influencer, video pendek — ditambah AI — telah mengaburkan ruang pertemanan yang dulu lebih hidup. Orang semakin terjebak dalam pola konsumsi pasif, seperti yang digambarkan American Enterprise Institute: “Media sosial kini lebih menjadi tempat konsumsi cepat dan berulang, bukan arena interaksi sosial dinamis.”
Saat saya membuka akun pribadi, pandangan saya disergap selfie, reels, vlog, iklan, dan konten AI yang bertebaran. Lanskap ini mengingatkan pada dunia neon “Blade Runner”: semarak namun sarat rasa asing, seolah warganya terbawa arus teknologi yang tak lagi bisa mereka kendalikan.
Perbandingan lain yang pas datang dari novel epik David Foster Wallace, Infinite Jest. Di sana ada film fiksi yang begitu memikat, hingga siapa pun yang menontonnya langsung kecanduan dan mengulanginya tanpa henti, melupakan semua hal lain dalam hidupnya. Konten di TikTok mungkin belum sampai “mematikan” seperti itu, tapi jelas mendekati.
Riset terbaru membuktikan: platform ini bergerak dari fungsi awalnya menuju hiburan tanpa pikiran dan zombie scrolling. Mereka menjadi portal distraksi yang kian terpisah dari dunia nyata, menjauh dari misi awal Zuckerberg untuk “memperluas kapasitas orang membangun dan mempertahankan hubungan.” Kini, konten dikirim ke pengguna lewat feed yang semakin mirip konsep di novel distopia M.T. Anderson, Feed. Seiring keinginan manusia larut dalam ramalan algoritma, peran kehendak bebas makin sulit ditemukan.
“Meski masih kadang disebut ‘jejaring sosial’, dimensi sosialisasinya di era 2020-an perlahan memudar.”
Jurang Buatan
Dalam karya filosofisnya tahun 1886, Beyond Good and Evil, Friedrich Nietzsche menulis, “Jika kamu memandang terlalu lama ke dalam jurang, jurang itu juga akan memandangmu.” Kutipan ini kini terasa relevan saat kita bicara soal AI.
Sejak OpenAI merilis ChatGPT pada November 2022, konten AI membanjiri Facebook: anak-anak “ajaib,” lanskap surealis, hingga gambar religius aneh yang terlihat seperti lahir dari mimpi demam seorang fanatik. Gambar-gambar ini, sering dibuat kurang dari semenit lewat Midjourney atau DALL-E, dipakai untuk spam dan memburu engagement cepat.
Peneliti Renée Diresta dan Josh Goldstein mencatat pada 2024 bahwa gambar AI sudah digunakan spammer dan penipu untuk membuat postingan viral. Louis Barclay dari Mozilla Foundation menyebut platform ini kini dipenuhi “AI slop” — tumpukan konten aneh yang cepat kita temui begitu masuk.
Meskipun belum ada studi kredibel yang secara pasti menentukan persentase konten Facebook yang kini dihasilkan oleh AI, banyak media yang melaporkan adanya lonjakan postingan semacam ini.
Louis Barclay, seorang pengembang perangkat lunak dan rekan peneliti di Mozilla Foundation, lembaga nirlaba yang diblokir dari Facebook dan Instagram karena menciptakan perangkat digital yang memungkinkan pengguna menghapus umpan berita mereka, yakin bahwa campuran konten di situs-situs tersebut sedang mengalami perubahan yang cepat.
"Platform-platform ini telah dipenuhi dengan apa yang orang sebut sebagai AI slop," ujarnya kepada saya.
"Jika Anda mengakses platform-platform ini sekarang, tidak akan lama lagi Anda akan melihat hal-hal yang benar-benar aneh."
Seiring unggahan yang dihasilkan AI terus membanjiri Facebook, Instagram, dan TikTok, masih belum jelas sejauh mana komunikasi manusia yang sebenarnya akan tetap ada di platform-platform ini, dan seperti apa sisa-sisanya nanti.
Meta sempat mengumumkan kebijakan memberi label pada konten AI jika terdeteksi indikator standar industri atau diungkapkan oleh pengunggah. Namun penerapannya masih tak konsisten. Akibatnya, ruang digital yang dulu jadi alun-alun untuk berbagi kini menjadi arena bagi “agen” baru yang tak kenal lelah, seperti virus supercerdas yang menyebar lebih cepat dari pikiran manusia.
Dengan membiarkan AI membanjiri ekosistem ini, perusahaan teknologi secara perlahan memutus hubungan antara platform dan dunia nyata. Singkatnya, jurang itu kini balik menatap kita — menampilkan wajah yang tak wajar, dari “Yesus” versi grotesk hingga model AI yang berpesta di dunia buatan.
Teman Daring
Musim semi lalu, Zuckerberg memaparkan masa depan di mana chatbot AI akan memperluas lingkaran sosial kita dan mengisi kekosongan kesepian. Kepada John Collison di konferensi Stripe, ia berkata, “Orang akan menginginkan sistem yang mengenal mereka seperti algoritma feed mereka.”
Gagasannya memicu reaksi keras. Banyak yang menganggap visi ini tidak etis, bahkan mengganggu. Ironisnya, studi Harvard Business Review April 2025 menunjukkan penggunaan terbesar AI generatif dalam 12 bulan terakhir justru adalah untuk terapi dan/atau teman bicara.
Terlepas dari keraguan refleksif kita sebagai masyarakat, tampaknya individu mulai menggunakan AI untuk kebutuhan interpersonal ini, dan dalam skala besar. Di masa depan, kita mungkin akan berinteraksi secara rutin dan bahkan tanpa hambatan dengan komunitas chatbot yang dirancang khusus untuk menghibur kita, mencerminkan kita, dan memberi tahu kita persis apa yang ingin kita dengar.
Di Instagram, chatbot AI sudah hadir. Program AI Studio memungkinkan kreator besar memakai bot untuk menjawab pertanyaan dan berinteraksi dengan pengikut. Namun teknologi ini cepat melebar dari tujuan awalnya: seorang pengguna bahkan membuat chatbot Kurt Cobain, yang dalam hitungan hari sudah diajak bicara lebih dari 100.000 orang — termasuk pertanyaan vulgar soal kematiannya.
Platform lain seperti Character AI (diluncurkan 2021) sudah lebih dulu memungkinkan interaksi dengan jutaan bot, dari tokoh fiksi hingga tiruan figur sejarah. Namun kemunculan “teman” digital ini memunculkan pertanyaan serius: jika interaksi sosial makin dipenuhi AI, bagaimana dampaknya pada perkembangan identitas manusia?
Jeff Pooley dari University of Pennsylvania mengingatkan, identitas terbentuk melalui interaksi dengan orang lain. Jika proses ini bergeser ke model bahasa besar (LLM), jalur kematangan sosial-psikologis bisa terganggu.
Mengamati derasnya arus konten AI di media sosial, saya teringat pada segmen The Sorcerer’s Apprentice di film klasik Disney Fantasia. Mickey Mouse, sang murid penyihir, memberi nyawa pada sapu agar mengerjakan tugasnya. Namun sapu itu berlipat ganda tanpa kendali hingga membanjiri ruangan. Saat kita scrolling hari ini, bukankah kita mirip Mickey yang terbangun di tengah banjir sapu tak bernyawa, mengisi ember yang sudah meluap?
Sumber: Mike Mariani (12 Agustus 2025)
Blog ini didukung oleh pembaca. Kami dapat memperoleh komisi afiliasi ketika Anda bertransaksi di tautan yang ditampilkan di situs ini. Ikuti kami juga di Google News Publisher untuk mendapatkan notifikasi artikel terbaru. Info lanjut, kolaborasi, atau kerjasama, bisa menghubungi: 0857-1587-2597 | 0813-8229-7207 | .
