Skip to main content
17 September 2025
# Topik
Ayo Terhubung

Menanti Runtuhnya Era Media Sosial: Hari-Hari Terakhir Keemasan

17 September 2025
 

Media sosial dulu menjanjikan koneksi dan kebersamaan. Kini, yang tersisa hanyalah rasa lelah dan kebosanan.

 

DAFTAR ISI

Awal yang Terlihat Biasa Saja, Tapi Ada yang Aneh

Coba buka aplikasi media sosial favoritmu. Sekilas, tampilannya masih terasa familiar. Feed mengalir mulus di bawah jempolmu, seakan semuanya baik-baik saja. Tapi setelah beberapa kali scroll, kamu mulai merasa ada yang ganjil.

Sepuluh postingan dari sepuluh akun berbeda, tapi… foto profilnya sama persis!
Kalimat yang mereka tulis juga sama:

  • “Klik di sini untuk foto gratis.”

  • “Trik produktivitas yang wajib kamu coba di 2025.”

Kamu swipe lagi, muncul tiga komentar yang hampir identik. Semuanya dari avatar perempuan dengan bibir duck face, yang ujung-ujungnya mengarah ke link “free pics”. Di tengah kekacauan ini, tiba-tiba muncul iklan kartu kripto dengan cashback.

Lanjut scrolling, kamu akan menemukan potongan video TikTok yang didaur ulang, diberi label “original audio”, lalu diposting ulang di Reels Instagram dan Facebook. Ada juga video highlight pertandingan bola yang aneh — tangan dan kaki pemainnya seperti boneka tali yang digerakkan AI.
Dan entah bagaimana, teman yang biasanya nge-like foto sushi-mu kini seolah punya lima akun kembar.

Pertanda buruk ini jelas:
Konten asli, yang benar-benar dibuat manusia, makin tersingkir. Ia kalah bersaing dengan konten buatan mesin yang hanya dirancang untuk memancing klik dan komentar. Kita sedang menyaksikan hari-hari terakhir media sosial seperti yang kita kenal dulu.


Tenggelamnya Konten Asli

01 Spam Email Detection Using Artificial Intelligence netework

Media sosial awalnya dibangun dengan janji keaslian dan koneksi manusiawi.

  • Kamu dulu datang untuk melihat foto pernikahan teman,

  • Atau video lucu anjing peliharaan sepupu.

Bahkan budaya influencer pun dulu masih membawa “jiwa manusia”. Di balik ring light dan filter, masih ada orang sungguhan yang berbagi cerita.

Namun, seiring waktu, attention economy — ekonomi yang bertumpu pada perhatian manusia — merusak kontrak sosial itu. Kini, yang kita lihat bukan lagi kumpulan orang, tapi kumpulan konten. Tidak lagi soal hubungan antarmanusia, tapi tentang siapa yang bisa menguasai perhatian.

Dalam beberapa tahun terakhir, Facebook dan platform besar lainnya telah berubah menjadi gudang spam AI terbesar di internet.
Penelitian membuktikan apa yang kita semua lihat:

  • Puluhan ribu postingan ditulis mesin membanjiri grup publik.

  • Isinya? Scam, clickbait, dan artikel setengah matang dengan gambar gaya hidup buram hasil olahan AI seperti Midjourney.

Bahkan ada fenomena seperti Shrimp Jesus — gambar absurd yang viral, tapi sebenarnya buatan AI yang justru didukung algoritma untuk tampil di beranda kita.

Batas Antara Nyata dan Palsu Makin Kabur

02 Social Media Bots

Perbedaan antara konten asli dan buatan mesin semakin tidak terlihat.
Platform tampak tidak mampu, atau bahkan tidak peduli, untuk mengaturnya.

  • CEO Reddit, Steve Huffman, bahkan sampai bersumpah untuk “menjaga Reddit tetap manusiawi”.
    Ini semacam pengakuan diam-diam bahwa konten non-manusia sudah mulai menguasai platform itu.

  • TikTok kini dipenuhi narator AI yang membuat berita palsu dan sejarah alternatif “what-if”.
    Beberapa kreator memang memberi label “ini bukan kejadian nyata”, tapi mayoritas tidak peduli — dan para penonton pun tetap menonton.

Masalahnya bukan hanya munculnya konten palsu, tapi hancurnya konteks.
Selama mata kita terhibur warna-warni, kebenaran tidak lagi dianggap penting.

Konten hari ini hadir seperti lumpur digital: terlihat seperti bahasa manusia, tetapi tidak benar-benar mengatakan apa-apa.
Kita sedang tenggelam dalam kekosongan makna.

Ekonomi Bot-Girl: Saat Keintiman Jadi Komoditas

Jika spam adalah “white noise” media sosial, maka nada utamanya adalah fenomena bot-girl — avatar perempuan hiper-optimasi yang seksi, sedikit menggoda, tapi terasa nyata.

  • Mereka membalas cuitan populer dengan selfie.

  • Menjanjikan “meme lucu di bio”.

  • Dan tentu saja, selalu mengarah ke link seperti OnlyFans atau situs serupa.

Kadang mereka benar-benar perempuan sungguhan.
Kadang hanya bot.
Kadang seorang pria di Myanmar yang mengoperasikan ratusan akun.
Namun, lama-lama itu tidak penting. Yang penting adalah engagement terus mengalir.

Fenomena ini menciptakan ekonomi bot-girl, yaitu pasar parasocial yang digerakkan oleh rasa kesepian dan keterdesakan ekonomi.
Di dalamnya berlaku logika sederhana:

Perhatian itu langka, keintiman bisa dijual, dan platform tidak akan mengintervensi selama angka engagement tetap tinggi.


Realita Pahit Bagi Pekerja Seks Online

03 digital reality glitch

Banyak perempuan kini beralih ke pekerjaan seks daring.
Di sisi lain, banyak pria yang rela membayar demi interaksi tersebut.

Namun, tekanan algoritma dan kompetisi bisa menghancurkan mental para pekerja ini:

  • Untuk bertahan, mereka harus bertindak seperti bot,

  • Mengotomatisasi balasan,

  • Mengoptimalkan konten agar selalu relevan,

  • Bahkan berpura-pura memberi afeksi pada skala besar.

Akhirnya, batas antara manusia dan mesin benar-benar kabur.
Orang sungguhan mulai tampil seperti avatar sintetis, sementara avatar sintetis semakin mirip manusia.

“Konten manusia yang asli makin tersingkir oleh prioritas algoritma, kalah interaksi dari konten buatan yang hanya mengejar klik.”

Daya Tarik yang Terencana

Fenomena bot-girl bukan sekadar gejala; ia adalah bukti nyata bagaimana media sosial membentuk estetika demi logika engagement.

Dulu, foto profil cenderung super glamor — kecantikan sempurna yang tak terjangkau.
Namun, seiring waktu, para pengguna pria mulai sadar: “Supermodel biasanya nggak akan kirim DM ke gue.”

Sistem pun beradaptasi:

  • Muncullah profil yang terlihat lebih realistis,

  • Lebih “accessible” secara emosional,

  • Seolah-olah benar-benar tertarik padamu.

Hari ini, avatar didesain agar cukup manusiawi untuk meyakinkan, tapi cukup artifisial untuk bisa berkembang secara masif.
Mereka harus terlihat manusia, tapi bertindak seperti bot agar tetap relevan.

Semua ini direkayasa secara sosial:

  • Like yang kamu berikan,

  • Komentar yang kamu tulis,

  • Klik pada link,

  • Bahkan pesan pribadi yang kamu kirimkan.

Semua hanyalah bagian dari mesin besar yang mengubah interaksi manusia menjadi angka engagement.


Kesimpulan: Hari-Hari Terakhir Media Sosial

04 digital isolation

Media sosial pernah menjadi tempat berbagi cerita dan tawa bersama teman.
Kini, ia berubah menjadi arena algoritma, di mana manusia hanya sekadar bahan bakar.

  • Spam AI membanjiri beranda kita.

  • Bot-girl menggantikan interaksi yang tulus.

  • Kebenaran tenggelam di lautan konten tanpa makna.

Kita sedang berada di masa transisi besar.
Jika tidak segera ada perubahan, yang tersisa hanyalah reruntuhan digital — dan kita, para pengguna, hanyalah penonton yang tak berdaya.


Bersambung ke Bagian 2: Runtuhnya Interaksi dan Munculnya Komunitas Baru

SumberJames O'Sullivan, 2 September 2025.

Blog ini didukung oleh pembaca. Kami dapat memperoleh komisi afiliasi ketika Anda bertransaksi di tautan yang ditampilkan di situs ini. Ikuti kami juga di Google News Publisher untuk mendapatkan notifikasi artikel terbaru. Info lanjut, kolaborasi, atau kerjasama, bisa menghubungi: 0857-1587-2597 | 0813-8229-7207 | .

 

Foto Rizal Consulting
Full-time Freelancer
🗓️ Sejak 2006 💻 Sabtu - Kamis ⏰ 08-17 WIB ☎️ 0813-8229-7207 📧