Skip to main content
09 Agustus 2025
# Topik
Ayo Terhubung

Apa Itu Doxing? Mengintip Pertarungan Anonimitas di Media Sosial

09 Agustus 2025
 

Di balik layar X (dulu Twitter), sedang berlangsung perang sunyi antara hak untuk tetap anonim dan upaya membongkar identitas. Salah satu pemain utamanya di Spanyol adalah Isidoro Román Cuesta—dikenal sebagai “pemburu online”—yang sejak awal 2025 telah mengungkap identitas lebih dari 20 akun politik sayap kanan di platform tersebut.?

DAFTAR ISI

Dari @CapitanBitcoin hingga Nama Asli

“Pengen tahu siapa yang sebenarnya ada di balik @CapitanBitcoin?” Begitulah godaan yang dilontarkan akun X milik @Wiesenthal1632. Bukan sekadar tanya, ini adalah pengumuman “doxing”—praktik membocorkan informasi pribadi seseorang di dunia maya.

Román Cuesta, lewat tim kecilnya, mengaku misinya dimulai dari mendeteksi kampanye kebencian di dunia maya.

“Garis merah yang tak boleh mereka lewati adalah saat mereka berkoordinasi untuk menyebarkan ujaran kebencian demi mengintimidasi atau membungkam orang lain,” jelasnya dalam wawancara telepon dengan El País.

Bagi Román, doxing adalah respons terhadap perilaku yang ia nilai melampaui batas. Tapi, batas itu sendiri—apalagi di ranah politik—sangat subjektif.


Doxing: Kontroversi Lama yang Semakin Populer

Yang satu menyebutnya upaya melawan ujaran kebencian, yang lain melihatnya sebagai serangan politik. Definisi “kampanye kebencian” bisa berbeda tergantung sudut pandang politik. Meski kontroversial, praktik ini kian marak di Spanyol sejak awal 2025.

Beberapa akun besar di X—seperti Captain Bitcoin, Sr. Liberal, Captain Spain, hingga Noa Gresiva (plesetan dari “not aggressive”)—telah menjadi korban doxing. Mayoritas berhaluan konservatif dan diungkap oleh Román, meskipun beberapa akun progresif juga dibalas dengan aksi serupa.

Asal-Usul Istilah “Doxing”

Praktik ini muncul pada era awal internet di 1990-an. Kala itu, jika seseorang kesal dengan orang lain di forum online, ia akan membocorkan dokumen atau informasi pribadi lawannya—istilahnya “dropping docs” yang kemudian disingkat jadi “dox”.


Mengapa Doxing Semakin Gencar?

Pedro Anguita, profesor di Universitas Los Andes, Chili, menyebut ada dua alasan utama:

  1. Regulasi media sosial makin longgar. Tidak ada batasan hukum yang memadai, membuat doxing lebih mudah dilakukan.

  2. Jejak digital makin tebal. Semakin sering orang beraktivitas di media sosial, semakin banyak informasi yang tanpa sadar mereka tinggalkan.

Relaksasi aturan pasca-akuisi Twitter oleh Elon Musk memperburuk situasi. Kebebasan berpendapat yang lebih longgar—termasuk untuk opini ekstrem—membuat “harga” menyuarakan pandangan semakin mahal.


Anonimitas: Senjata atau Perisai?

Álvaro Pau, perawat yang mengelola akun Captain Bitcoin, menegaskan:

“Anonimitas mengganggu mereka yang ingin mengontrol narasi. Tekanan untuk mengidentifikasi, memberi label, dan menyensor semakin besar di X.”

Sementara itu, Aiman Bardisi, pemilik akun progresif Noa Gresiva, melihat doxing sebagai aksi timbal balik yang sulit ditelusuri asalnya.

“Satu pihak menuduh pihak lain melakukan kejahatan kebencian terhadap kelompok rentan, pihak lain membalas dengan doxing sebagai balas dendam. Kasus saya terjadi setelah Captain Bitcoin di-dox.”


Dari Investigasi Digital hingga Jejak Digital

Menemukan identitas akun anonim ternyata tidak membutuhkan keahlian hacker tingkat tinggi. Cukup dengan investigasi digital yang teliti:

  • Melacak akun lama si target.

  • Mencocokkan nama panggilan atau username yang pernah digunakan.

  • Mengikuti jejak interaksi atau posting lama.

“Semua meninggalkan jejak,” tegas Román.
Ia menambahkan, banyak akun yang mereka bongkar jejaknya sudah aktif sejak pandemi Covid, sering kali terkait hoaks atau gerakan anti-vaksin.

Karier Sampingan yang Mengundang Kontroversi

Sehari-hari, Román bekerja sebagai pembuat keramik. Sisa waktunya ia habiskan untuk menulis laporan doxing di Diario Red, media digital yang dipimpin Pablo Iglesias—mantan wakil perdana menteri Spanyol—dan di X.

“Kami tidak dibayar untuk ini, malah keluar uang dan waktu yang seharusnya untuk keluarga atau pekerjaan,” ujarnya.


Dulu “Report”, Sekarang “Expose”

Di masa lalu, pertempuran ideologis di Twitter lebih banyak melalui “report massal” terhadap akun atau tweet yang dianggap melanggar aturan. Grup aktivis seperti Red Bird atau Unga Unga Army berkoordinasi lewat Telegram untuk memblokir akun lawan.
Namun, dengan aturan yang lebih longgar, metode ini tidak lagi efektif. Kini, banyak yang beralih ke taktik doxing.


Siapa Saja yang Pernah Terkena?

Beberapa contoh pengungkapan Román antara lain:

  • Alt Right Spain – akun berideologi totalitarian.

  • Pemimpin kelompok sayap kanan Núcleo Nacional.

  • Jan Ersan Jávega – pernah menyemprot imigran dengan merica, merekamnya, lalu mengunggah videonya.

Hasilnya, banyak akun tutup atau memprivasi akses publik setelah identitasnya dibongkar.


Doxing dan Politik Tingkat Tinggi

Bahkan pejabat pemerintah ikut terseret. Menteri Transportasi Spanyol, Óscar Puente, pernah bercanda soal akun @capitana_espana (yang ternyata perempuan) dengan memanggilnya “Manolo” di X.
Sebaliknya, legislator sayap kanan Vox, Manuel Mariscal Zabala, menuduh media tertentu berusaha mengungkap identitas akun yang mengkritik pemerintah.

Román menuduh balik bahwa Mariscal justru terlibat dalam pendanaan dan koordinasi akun-akun penyebar kebencian.


Apakah Anonimitas Masalahnya?

Menurut Román, masalah bukan pada anonimitas itu sendiri, melainkan bagaimana anonimitas digunakan.

“Saya juga punya akun anonim. Tapi tidak seharusnya orang bersembunyi di balik anonimitas untuk melakukan kejahatan. Sama saja seperti penjahat pakai hoodie untuk menghindari polisi.”

Dampak Psikologis dan Sosial

Bagi yang menjadi korban, pengalaman pertama kali di-dox bisa mengguncang. Bardisi menggambarkannya:

“Seperti menatap jurang. Tiba-tiba rumahmu dibanjiri hinaan, fotomu tersebar di mana-mana.”

Profil korban beragam—mulai dari pengguna biasa yang vokal, pejabat publik, pengusaha, hingga mereka yang perilaku online-nya sangat berbeda dari dunia nyata.


Tak Selalu Negatif

Menariknya, beberapa korban justru memanfaatkan momentum. Álvaro Pau, misalnya, membuka kanal YouTube dan mempertimbangkan membuat podcast.

“Saya ingin memberi nilai tambah, bukan cuma bahas politik. Dari nol ke 15.000 subscriber cuma dengan beberapa video—itu pencapaian yang bagi orang lain butuh bertahun-tahun.”

Di sisi lain, Jesús Santorio (@Sr Liberal) menggalang dana lewat GoFundMe untuk menuntut Pablo Iglesias, berhasil mengumpulkan hampir €9.000 dari 400 donatur.


Garis Hukum: Tipis dan Kabur

Apakah doxing bisa dibawa ke ranah hukum? Román mengklaim ia hanya mempublikasikan informasi yang sudah tersedia di ruang publik—nama dan foto yang sudah dibagikan di media sosial—tanpa alamat atau nomor pribadi.

Pengacara Jorge García Herrero menilai hukuman berat kecil kemungkinannya, tapi membuka peluang untuk pengaduan administratif atau perdata.
Ia menekankan bahwa akun anonim berhak atas perlindungan identitas, dan pelanggaran bisa dikenai sanksi dari Badan Perlindungan Data Spanyol.


Batas Etika dan Hak Privasi

Doxing berada di wilayah abu-abu antara kebebasan berekspresi dan perlindungan privasi. Bagi sebagian orang, ini adalah alat perlawanan terhadap ujaran kebencian. Bagi yang lain, ini adalah bentuk persekusi digital yang melanggar hak asasi.

Yang jelas, selama media sosial tetap menjadi arena politik yang panas, dan selama jejak digital orang mudah ditelusuri, pertarungan soal anonimitas ini belum akan berakhir.

 

Sumber: Jordi Pérez Colomé (5 Juli 2025).

Blog ini didukung oleh pembaca. Kami dapat memperoleh komisi afiliasi ketika Anda bertransaksi di tautan yang ditampilkan di situs ini. Ikuti kami juga di Google News Publisher untuk mendapatkan notifikasi artikel terbaru. Info lanjut, kolaborasi, atau kerjasama, bisa menghubungi: 0857-1587-2597 | 0813-8229-7207 | .

 

Foto Rizal Consulting
Full-time Freelancer
🗓️ Sejak 2006 💻 Sabtu - Kamis ⏰ 08-17 WIB ☎️ 0813-8229-7207 📧