Skip to main content

📉 Banyak Studi Baru Mengungkap: AI Bisa Bikin Kita Makin Tolol!

03 Juli 2025
 

Apakah kita sedang menuju masa depan seperti film Idiocracy?

Beberapa minggu terakhir, dunia akademis kembali menggemparkan kita dengan temuan yang bikin mikir ulang soal kecanggihan AI. Dua studi independen—yang terbit dalam rentang waktu hanya dua minggu—menggambarkan satu hal yang cukup mencemaskan: penggunaan AI secara rutin ternyata berpotensi menurunkan kemampuan kognitif manusia. 😬

Dan ya, ini bukan sekadar teori konspirasi teknologi. Ini hasil penelitian nyata.


DAFTAR ISI

Studi dari Wharton: ChatGPT Bikin Ilmu Jadi Dangkal?

01 chatgpt in learning

Penelitian terbaru datang dari Wharton School, University of Pennsylvania, dengan melibatkan lebih dari 4.500 peserta. Mereka ingin tahu perbedaan pemahaman antara orang yang melakukan riset menggunakan AI seperti ChatGPT versus mereka yang mengandalkan mesin pencari seperti Google.

Temanya simpel: "Bagaimana cara memulai kebun sayur?" 🥦🌱

Hasilnya? Mengejutkan.

Kelompok yang memakai ChatGPT memberikan saran yang jauh lebih asal-asalan dibandingkan mereka yang menggunakan mesin pencari biasa. Peneliti mencatat bahwa pengguna AI cenderung memiliki pengetahuan yang lebih dangkal.

Kenapa bisa begitu? Ini penjelasan mereka:

“Model bahasa besar (LLM) seperti ChatGPT menyajikan hasil dalam bentuk sintesis informasi, bukan daftar link seperti Google. Akibatnya, proses belajar menjadi pasif karena pengguna tidak perlu aktif mencari, memilah, dan menyusun pemahaman sendiri.”

Dengan kata lain, pengalaman belajarnya seperti langsung dikasih jawaban soal matematika, tanpa pernah mencoba ngerjain sendiri. Praktis? Iya. Tapi berdampak pada kedalaman pemahaman? Jelas.


Studi MIT: Otak Kita Jadi Mageran Gara-Gara AI?

02 ilustrasi orang idiot

Sebelum Wharton, MIT juga sempat bikin heboh dengan studi yang meneliti aktivitas otak mahasiswa saat belajar pakai ChatGPT.

Menggunakan alat EEG (pengukur aktivitas otak), para peneliti membandingkan tiga kelompok:

1. Mahasiswa yang belajar pakai ChatGPT
2. Mahasiswa yang pakai Google Search
3. Mahasiswa yang belajar tanpa bantuan digital

Dan hasilnya? Kelompok ChatGPT menunjukkan aktivitas otak paling rendah. 😴

Istilah yang mereka pakai: "cognitive debt"—semacam utang kognitif karena otak jadi jarang dipakai untuk berpikir keras.

Tapi... tunggu dulu. Studi ini sempat dikritik juga, lho. Banyak pakar AI menilai metodenya belum kuat karena belum peer-reviewed dan jumlah sampelnya kecil. Beberapa bahkan bilang, otak yang “tenang” bisa juga berarti lebih efisien, bukan berarti malas mikir. Jadi, ini masih perdebatan terbuka.


AI Bantu... atau Bikin Malas?

03 ilustrasi orang mager

Terlepas dari pro-kontra, satu hal sulit untuk dibantah: kalau semua tugas kita lempar ke AI, kita jadi makin jarang berpikir mandiri.  🤖➡️🧠

Analoginya gini: zaman dulu kita hafal jalan, sekarang semua serahkan ke Google Maps. Coba tanya diri sendiri, kapan terakhir kali kamu ingat nama jalan atau arah pulang tanpa buka GPS?

Di dunia pendidikan, efeknya bahkan lebih dramatis. AI memudahkan siswa menyontek tugas. Banyak pelajar bisa lulus tanpa bisa nulis esai sendiri atau paham isi buku yang mereka “baca”. Kalau seperti ini terus, mau jadi generasi macam apa?


👨‍👩‍👧‍👦 Catatan Khusus untuk Orang Tua & Pemerhati Anak

04 happy father and son reading book together in bed

Nah, sekarang bagian yang penting buat kita semua yang peduli dengan tumbuh kembang anak:

👉 AI bukan musuh. Tapi AI juga bukan pengasuh.  

Anak-anak dan remaja—dalam usia emas perkembangan otak—sedang berada di masa krusial untuk membentuk daya pikir, nalar kritis, dan kreativitas. Kalau sejak kecil mereka dibiasakan menyerahkan semua proses berpikir ke aplikasi AI, apa jadinya 10–20 tahun lagi?

Mereka mungkin bisa menjawab soal. Tapi bisa gak mereka berpikir?  

Belajar adalah proses yang melibatkan otak, emosi, dan interaksi nyata dengan dunia. Saat anak menyusun kalimat sendiri, merumuskan pendapat, atau bertanya "kenapa", itulah latihan kognitif terbaik. Tapi jika semua diganti dengan “tanya ChatGPT”, mereka kehilangan kesempatan itu.


🎯 Kesimpulan: AI Itu Alat, Bukan Otak Tambahan

AI, termasuk ChatGPT, bisa sangat membantu. Tapi, kita harus ingat—ia hanyalah alat. Bukan guru, bukan teman diskusi, dan bukan pengganti otak manusia.

Bagi para orang tua, guru, dan pemerhati pendidikan: mari lebih bijak memperkenalkan teknologi ini pada anak-anak. Gunakan AI untuk mendorong rasa ingin tahu, bukan untuk mematikan inisiatif belajar.

Karena di masa depan nanti, yang bertahan bukan yang punya akses ke AI terbaik, tapi mereka yang tetap tahu cara berpikir sendiri.💡


Sumber: Lucas Ropek (26 Juni 2025).

Blog ini didukung oleh pembaca. Kami dapat memperoleh komisi afiliasi ketika Anda membeli melalui tautan di situs web kami. Ikuti kami juga di Google News Publisher untuk mendapatkan notifikasi artikel terbaru. Terima kasih.

 

 

Foto Rizal Consulting
Full-time Freelancer
🗓️ Sejak 2006 💻 Sabtu - Kamis ⏰ 08-17 WIB ☎️ 0813-8229-7207 📧