Skip to main content
07 Agustus 2025
# Topik
Ayo Terhubung

Para Mahasiswa yang Menolak AI: Dampak ChatGPT pada Otak & Kreativitas

07 Agustus 2025
 

Di era serba digital ini, rasanya hampir mustahil untuk lepas dari bayang-bayang kecerdasan buatan (AI). Mulai dari smart assistant di ponsel hingga rekomendasi film di layanan streaming, AI sudah jadi bagian tak terpisahkan dari hidup kita.

Namun, di tengah hiruk pikuk adopsi AI yang masif, ada sekelompok mahasiswa yang justru memilih untuk membatasi penggunaannya. Alasannya bukan karena anti-teknologi, tapi demi menjaga kreativitas, disiplin, dan kemampuan berpikir kritis mereka.


DAFTAR ISI

Ketika Kemudahan Berubah Jadi Ancaman

Mónica de los Ángeles Rivera Sosa, seorang mahasiswi Komunikasi Politik berusia 20 tahun di Emerson College, Boston, menceritakan pengalamannya.

"Saya mulai pakai ChatGPT di tahun kedua kuliah. Waktu itu lagi super sibuk, harus bagi waktu antara magang, tugas, belajar, dan kegiatan ekstrakurikuler," kenangnya. "Biar beban sedikit berkurang, saya coba pakai buat tugas-tugas kecil. Lama-lama, saya sadar kalau AI ini bisa 'mengingat' gaya tulisan saya dan teks-teks saya sebelumnya. Dari situ, saya langsung integrasikan ke semua hal... kerjaan jadi semudah klik satu tombol."

Mónica mengakui, dia berhasil melewati mata kuliah tersebut. Tapi ada satu hal yang mengganjal. "Saya sadar, saya enggak ingat kapan terakhir kali saya menulis esai sendiri. Padahal, dulu itu aktivitas favorit saya," ungkapnya. Pengalaman inilah yang menjadi titik balik baginya untuk berhenti menggunakan aplikasi tersebut.

Pandangan Mónica mungkin bukan yang paling umum, tapi juga bukan kasus yang langka. Semakin banyak mahasiswa yang mulai menjauh dari AI untuk tugas-tugas mereka. Mereka merasa teknologi ini membuat mereka jadi malas dan kurang kreatif, serta perlahan-lahan mengikis kemampuan mereka untuk berpikir mandiri.

Senada dengan Mónica, Macarena Paz Guerrero, mahasiswi jurnalistik tahun ketiga di Universitas Ramon Llull, Barcelona, juga merasakan hal serupa.

"Saya berhenti pakai AI buat tugas kuliah karena enggak ada gunanya. Tahun lalu, saya merasa kurang kreatif. Tahun ini, saya jarang banget pakai," katanya.

Ia menambahkan, "Di universitas, kita seharusnya didorong untuk bereksperimen, belajar, dan berpikir kritis. Bukan cuma copy-paste pertanyaan ke mesin tanpa membacanya sama sekali."

Dilema di Balik Otomatisasi: Ketergantungan vs. Kemandirian

Sebuah studi dari Microsoft yang mewawancarai 319 pekerja menunjukkan bahwa pengguna AI cenderung menghasilkan hasil yang kurang beragam untuk tugas yang sama. Ini mengindikasikan bahwa para pekerja yang terlalu percaya pada mesin kurang berupaya untuk menyumbangkan ide-ide mereka sendiri. Tapi siapa, sih, yang paling sering mendelegasikan pekerjaannya ke AI? Dan kenapa?

Ternyata, mereka yang paling kritis terhadap AI justru adalah mereka yang paling menuntut pada diri sendiri. Dengan kata lain, semakin percaya diri seseorang – dan semakin yakin mereka dengan tugas yang dikerjakan – semakin jarang mereka menggunakan teknologi ini.

Francisco Javier González Castaño, seorang profesor di Universitas Vigo, Spanyol, yang juga terlibat dalam pengembangan chatbot AI, menjelaskan, "Kita bicara tentang individu-individu yang overqualified... yaitu, mahasiswa atau pekerja yang menonjol karena kemampuan tinggi mereka dan merasa terbatas saat menggunakan AI." Namun, ia juga menambahkan, "Tapi untuk sebagian besar orang dan tugas-tugas yang repetitif, alat AI sangat membantu."

Violeta González, seorang pianis berusia 25 tahun dan mahasiswi Pascasarjana Pedagogi di Royal Conservatory of Brussels, menyentil sistem pendidikan.

"Kalau tugas kuliah bisa dengan mudah diselesaikan oleh mesin, itu bukan masalah mahasiswanya. Justru sistem pendidikannya yang bermasalah," kritiknya.

"Namun, jika tugas itu menuntut pola pikir kritis, ceritanya beda. Karena AI masih belum mampu melakukan banyak hal yang bisa dilakukan manusia. Jawaban ChatGPT itu ibarat kanvas kosong untuk dikerjakan. Itu cuma data yang dikumpulkan yang kita gunakan untuk memutuskan apa yang harus dilakukan. Sendirian, ia tidak menyumbangkan apa pun yang baru."

Meskipun kritik terus berdatangan, kenyataannya AI generatif sangat lazim digunakan di kalangan mahasiswa. Sebuah studi dari Yayasan CYD menemukan bahwa 89% mahasiswa sarjana di Spanyol menggunakan alat-alat ini untuk:

  • Menyelesaikan keraguan (66%)

  • Melakukan riset, menganalisis data, atau mengumpulkan informasi (48%)

  • Bahkan menulis esai (45%)

Sekitar 44% mahasiswa menggunakannya beberapa kali seminggu, sementara 35% menggunakannya setiap hari.

Toni Lozano, seorang profesor di Autonomous University of Barcelona, mengakui bahwa alat-alat ini memang menjadi tantangan bagi sistem pendidikan.

"AI bisa sangat membantu bagi mahasiswa yang ingin meningkatkan kualitas pekerjaan mereka dan mengembangkan kemampuan diri sendiri. Tapi bisa juga merugikan bagi mereka yang malas atau kurang termotivasi. Ini hanyalah alat lain – mirip kalkulator – dan semuanya tergantung pada cara kita menggunakannya."

"Ada mahasiswa yang cuma kuliah demi ijazah," tambahnya, "dan ada yang datang untuk belajar. Tapi bagaimanapun, saya rasa membatasi atau melarang penggunaan AI bukanlah ide bagus. Kami semakin berkomitmen pada kelas tatap muka dan kembali ke ujian tulis."

AI Bukan Musuh, Tapi Alat untuk Berpikir Kritis

Di era otomatisasi dan keseragaman hasil, mendorong pemikiran kritis adalah tantangan besar bagi universitas maupun perusahaan teknologi. Institusi-institusi ini kini berupaya mengembangkan alat AI generatif yang justru memotivasi pengguna untuk berpikir sendiri.

Tujuannya adalah membantu mereka mengatasi masalah yang lebih kompleks dan memasuki pasar kerja yang semakin dipengaruhi oleh AI. Hal ini terlihat dari studi Microsoft yang disebutkan sebelumnya dan juga pengumuman terbaru dari dua perusahaan AI terkemuka: OpenAI dan Anthropic.

OpenAI meluncurkan ChatGPT Edu – versi chatbot-nya untuk pelajar – pada Mei 2024. Sementara itu, Anthropic meluncurkan Claude for Education, versi chatbot yang fokus pada universitas. Claude didesain untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan ala Socrates ("Bagaimana Anda akan mendekati masalah ini?" atau "Bukti apa yang mendukung kesimpulan Anda?") untuk membimbing mahasiswa dalam memecahkan masalah dan membantu mereka mengembangkan pemikiran kritis.

Ketika Google pertama kali muncul, klaim serupa juga sempat terdengar: internet akan membuat orang kurang kreatif, kurang berusaha, dan kurang berpikir kritis. Lantas, apa bedanya menggunakan mesin pencari dengan AI generatif untuk menyelesaikan sebuah proyek? "Banyak sekali," tegas Macarena Paz. "Di mesin pencari, kita masukkan pertanyaan, kita konsultasi dengan berbagai halaman, dan kita susun jawaban kita, menambahkan dan membuang apa yang kita anggap sesuai."

Paz menjelaskan bahwa sekarang dia lebih memilih mesin pencari lain karena Google sudah mengintegrasikan AI melalui Overviews: jawaban yang dihasilkan secara otomatis dan muncul di bagian atas halaman hasil pencarian.

Sebagai gantinya, ia menggunakan Ecosia, mesin pencari yang mengklaim sebagai alternatif ramah lingkungan karena menggunakan pendapatan dari iklan untuk mendanai proyek reboisasi. Semua mahasiswa yang diwawancarai untuk laporan ini juga mengungkapkan kekhawatiran tentang konsumsi air yang sangat besar di balik setiap pencarian yang dilakukan dengan alat AI.

"Salah satu keterbatasan terbesar yang saya temukan pada ChatGPT adalah ia tidak tahu cara bilang 'tidak'. Jika ia tidak tahu jawabannya, ia akan mengarangnya. Ini bisa sangat berbahaya," jelas Violeta González.

"Ketika saya menyadari hal ini, saya mulai menerima informasinya dengan hati-hati. Jika Anda tidak menambahkan lapisan berpikir kritis ini, pekerjaan Anda akan sangat terbatas," lanjutnya.

"[ChatGPT] memilihkan informasi untuk Anda dan Anda kehilangan kemampuan pengambilan keputusan itu. Memang lebih cepat, tapi juga lebih terbatas."

Mónica de los Ángeles Rivera Sosa juga mengingatkan, "Berpikir kritis itu seperti olahraga. Jika Anda berhenti melakukannya, tubuh Anda akan lupa dan Anda kehilangan bakat itu."

Selain itu, AI generatif juga memiliki keterbatasan lain.

"Dalam kasus programming, kita harus membedakan antara coding dan programming. AI generatif ideal untuk mengotomatisasi ribuan tugas spesifik yang dieksekusi dengan satu baris kode... tetapi masih menunjukkan keterbatasan yang signifikan dalam memecahkan masalah yang kompleks dan orisinal," tambah Toni Lozano.

Di bidang humaniora, AI bisa menulis laporan atau email dengan tepat dan benar, tetapi tidak mampu menulis dengan gaya orisinal. Bahkan, gaya tulisan dengan tone ChatGPT sudah mulai terbentuk. Lagi-lagi, ini adalah masalah standarisasi.

"Manusia tidak pernah secerdas sekarang. Tapi apakah kita semua benar-benar perlu 'sangat cerdas' agar sistem bisa berjalan?" tanya Francisco Javier González.

"Tentu saja tidak. AI kemungkinan akan mengurangi beberapa keterampilan yang tidak sepenting yang kita kira. Ada periode di zaman kuno – saya tidak bilang itu lebih baik – ketika hanya segelintir biksu yang punya kemampuan berpikir kritis. Lima tahun lagi, mungkin tidak perlu lagi belajar bahasa. Saat itu terjadi, sesuatu akan hilang," ia mengakui.

Ada banyak studi ilmiah yang menegaskan dampak negatif AI generatif pada memori, kreativitas, dan pemikiran kritis. Bahkan sebelum AI generatif masuk ke kehidupan kita, penulis Amerika Nicholas Carr sudah mengingatkan tentang dampak epistemologis internet.

Dalam bukunya The Shallows: What the Internet Is Doing to Our Brains (2011), ia menulis, "Dulu, saya adalah seorang penyelam di lautan kata-kata. Sekarang, saya hanya melaju di permukaan seperti orang naik Jet Ski."

Carr menambahkan, "Sebagai jendela kita ke dunia – dan ke diri kita sendiri – media populer membentuk apa yang kita lihat dan bagaimana kita melihatnya... dan pada akhirnya, jika kita menggunakannya cukup sering, ia mengubah siapa kita, baik sebagai individu maupun sebagai masyarakat."

Jika AI generatif membuat kita kurang orisinal dan lebih malas, serta menghilangkan kemampuan berpikir kritis kita, dampak apa yang akan terjadi pada otak kita? Apakah kita semua akan memiliki jawaban yang sama untuk pertanyaan yang berbeda? Akankah segalanya menjadi lebih seragam dan kurang kreatif? Hanya waktu yang bisa menjawab.

Tapi sambil menunggu masa depan berbicara, inilah yang dikatakan oleh ChatGPT: "Kemajuan kecerdasan buatan generatif menyajikan sebuah paradoks yang mengganggu: semakin ia mempermudah kita untuk berpikir, semakin sedikit kita melatihnya."


Jadi, bagaimana menurutmu? Apakah AI generatif benar-benar ancaman atau sekadar alat yang salah digunakan?

Sumber: Susana Pérez Soler (3 Agustus 2025)

Blog ini didukung oleh pembaca. Kami dapat memperoleh komisi afiliasi ketika Anda bertransaksi di tautan yang ditampilkan di situs ini. Ikuti kami juga di Google News Publisher untuk mendapatkan notifikasi artikel terbaru. Info lanjut, kolaborasi, atau kerjasama, bisa menghubungi: 0857-1587-2597 | 0813-8229-7207 | .

 

Foto Rizal Consulting
Full-time Freelancer
🗓️ Sejak 2006 💻 Sabtu - Kamis ⏰ 08-17 WIB ☎️ 0813-8229-7207 📧